Assalamulaikum
Sedikit pencerahan, untuk lebih lanjut berhadap lah kita dgn guru yg nyata lagi hakiki agar di fahamkan akan makam letak tempat jatuhnya sesuatu yg ingin kita fahami agar mendatangkan bekas pada kelakuan dan perbuatan hingga mendatangkan rasa, inssaallah, sedikit perkongsian
Bismillah Hirrohma Nirrohim
Assalamualaikum wr.wb
HAKEKAT SEMBAHYANG ( Sholat )
Berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri, bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya diri bathin (Allah) dan diri zahir kita (Muhammad) adalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT.
Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatehah yaitu :
Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal)
Kalimat alhamdu ini diterima ketika rasulullah isra’ dan mi’raj dan mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Yaitu : Adam AS. Tatkala Roh (diri bathin) Adam AS. Sampai ketahap dada, Adam AS pun bersin dan berkata alhamdulillah artinya : segala puji bagi Allah
Apa yang di puji adalah :
Zat (Allah)
Sifat (Muhammad)
Asma’ (Adam)
Af’al (Manusia)
Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti :
Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata.Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta.. tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata.
Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 72
Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu.
Artinya :
“sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya”
Dan karena firman Allah inilah kita mengucap :
“Asyahadualla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah”
Yang berarti :
Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah Semata dengan tubuh zahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai dengan tanggal yang telah ditentukan.
Manusia akan berguna disisi Allah jika ia dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri.
Karena bila manusia dapat mengenal dirinya, maka dengan itu pulalah ia dapat mengenal Allah.
Hadits Qudsi :
“MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU”
Artinya :
Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Allah
ALIF ITU ARTINYA : NIAT SEMBAHYANG
LAM ITU ARTINYA : BERDIRI
HA ITU ARTINYA : RUKU’
MIM ITU ARTINYA : SUJUD
DAL ITU ARTINYA : DUDUK
atau bisa juga kalau di kias lagi jadi Empat :
Berdiri (alif=jalalullah),
Rukuk (lam awal=jamalullah),
Sujud (lam akhir=kaharullah),
Duduk (haa=kamalullah),
menjadi nasar api, angin, air dan tanah dlm diri kita
Perkataan pertama dalam sembahyang itu adalah : Allahu Akbar (Allah Maha Besar) Perkata ini diambil dari peringatan ketika sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam AS. Adam AS. Pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar).
Dalam sembahyang harus memenuhi 3 syarat :
1. Fiqli (perbuatan)
2. Qauli (bacaan)
3. Qalbi (Hati atau roh atau qalbu)
MENGAPA KITA SEMBAHYANG SEHARI SEMALAM 17 RAKAAT :
Adalah mengambil pengertian sebagai berikut :
Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah
1. AH itu menandakan sembahyang subuh…….”2”rakaat yaitu…Zat dan Sifat
2. ALLAH itu menandakan sembahyang Zohor “4” rakaat yaitu :Wujud,Alam,Nur dan Syahadat.
3. MUHAMMAD itu menandakan sembahyang Asar “4” rakaat yaitu : Tanah,Air,Api dan Angin.
4. ADAM itu menandakan sembahyang Magrib “3” rakaat yaitu :Ahda,Wahda,dan Wahdia.
5. HAWA itu menandakan sembahyang Isya “4” rakaat yaitu : Mani,Manikam,Madi dan DI.
MENGAPA KITA MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT 9 KALI DALAM 5 WAKTU SEMBAHYANG
Sebab diri bathin manusia mempunyai 9 wajah.
Dua kalimah syahadat pada :
1. Sembahyang SUBUH 1 kali itu memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIRUSIR (Rahasia didalam Rahasia)
2. Sembahyang ZOHOR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIR dan AHDAH
3. Sembahyang ASAR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat WAHDA dan WAHDIA
4. Sembahyang MAGHRIB 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat AHAD dan MUHAMMAD
5. Sembahyang ISYA 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat MUSTAFA dan MUHAMMAD
MENGAPA KITA HARUS BERNIAT DALAM SEMBAHYANG
Karena : niat itu merupakan kepala sembahyang.
Hakekat niat letaknya pada martabat alif dan ataupun kalbu manusia didalam sembahyang itu kita lapazkan didalam hati :
Niat sbb :
“aku hendak sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.”
Dalilnya :
1. LA SHALATAN ILLA BI HUDURIL QALBI
Artinya : Tidak Sah Shalat Nya Kalau Tidak Hadir Hatinya (Qalbunya)
2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFATULLAH
Artinya : Tidak Syah Sholat Tanpa Mengenal Allah
3. WAKALBUL MU’MININ BAITULLAH
Artinya : Jiwa Orang Mu’min Itu Rumahnya Allah
4. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ
Artinya : Aku (Allah) Lebih Dekat Dari Urat Nadi Lehermu
5. IN NAMAS SHALATU TAMAS KUNU TAWADU’U
Artinya : Hubungan Antara Manusia Dengan Tuhannya Adalah Cinta. Cintailah Allah Yang Karena Allah Engkau Hidup Dan Kepada Allah Engkau Kembali. (H.R. Tarmizi)
6. AKI MIS SHALATA LI ZIKRI
Artinya : Dirikan Shalat Untuk Mengingat Allah (QS. Taha : 145)
Sedangkan :
1. Al-Fatehah ialah merupakan tubuh sembahyang
2. Tahayat ialah merupakan hati sembahyang
3. Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyan
HAKEKAT AL-FATEHA DALAM SHALAT
Membersihkan hati dari syirik kepada Allah SWT
Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu :
1. Bulu
2. Kulit
3. Daging
4. Darah
5. Tulang
6. Lemak
7. Lendir
7 ayat dalam Al-Fatehah merupakan tawaf 7 kali keliling ka’bah.
HAKEKAT ALLAHU AKBAR DALAM SHALAT IALAH :
“Mengambil magna ucapan Nabi Adam AS. Ketika berdiri menyaksikan dirinya sendiri dan Nabi Adam AS. Mengucap kalimah Allahu Akbar.
Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu :
1. Wujud
2. Ilmu
3. Nur
4. Syahadat
Perkataan Allah pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat zat sedangkan perkataan “Akbar” pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat : sifat.
Jadi zat dan sifat itu tidak boleh berpisah, zat dan sifat sama-sama saling puji memuji.
DALAM SHALAT ITU JUGA MENGANDUNG HAKEKAT ZAKAT.
Hakekat zakat dalam shalat ialah :
Mengandung makna “ Pembersih hati “ dari pada syirik kepada Allah SWT.
“ iiya Kanak Budu Wa iiya Kanasta’in”
Hanya kepada Allah lah aku menyembah dan hanya kepada Allah lah aku mohon pertolongan.
HAKEKAT PUASA DALAM SHALAT :
1. Tidak Boleh Makan Dan Minum
2. Mata Berpuasa
3. Telinga Berpuasa
4. Kulit Berpuasa
5. Hati Berpuasa
HAKEKAT WHUDU ADALAH : Ialah membersihkan diri sebelum menunaikan shalat :
Niat
Membasuh Muka
Membasuh Tangan
Membasuh Kepala
Membasuh Telinga
Membasuh Kaki
Tertib
Hakekat Niat dalam Wudhu : ialah
“tiada wujud pada diriku hanya Allah semata”
Jadi Kita Mengisbatkan Hidup Kita, Ilmu Kita, Pandangan Kita, Penglihatan, Kuasa Kita, Kata-Kata Kita Semuanya Adalah Hak Allah Semata. (Ia Haiyun, Ia Alimun, Ia Sami’un, Ia Basirun, Ia Kadirun, Ia Maridun, Ia Mutakalimun Bil Hakki Illallah).
Hakekat Membersihkan Muka dalam wuduk ialah :
Membuang semua sifat : sombong angkuh, kemuliaan, kebesaran,yang ada pada diri manusia.
Hakekat Membasuh Tangan dalam wuduk ialah :
Membuang semua sifat-sifat aku berkuasa, aku orang kuat dan aku orang besar.
Hakekat Membasuh Kepala dalam wuduk ialah :
Membersihkan segala fikiran dari segala urusan dunia
Hakekat Membasuh Telinga dalam wuduk ialah :
Membersih segala pendengaran dari hal-hal yang tidak perlu
Hakekat Membasuh Kaki dalam wuduk ialah :
Kita harus membetulkan perjalanan kita hanya untuk satu tujuan yaitu : “Allah SWT” semata.
TENTANG SURGA DAN NERAKA
Sesungguhnya bagi yang sudah mampu kembali kepada-Nya seperti para Nabi, Rasul dan para Wali-wali Allah, jelas mereka tidak tinggal di Surga melainkan telah berada ditempat tertinggi, manunggal dengan Tuhannya sehingga kenikmatan bersama-Nya bersifat kekal dan abadi. Inilah yang disebut “SURGA” yang tertinggi. Kebahagiaan yang dirasakan adalah kebahagiaan absolut yang berada diluar jangkauan angan-angan manusia.
Kebahagian disini lahir dalam “Diri” sendiri, bukan kebahagiaan yang datang dari luar dirinya. Inilah kebahagiaan kekal yang tidak bisa digambarkan oleh pikiran kita. Tentu hanya mereka sendiri yang bisa merasakannya.
Sebagaimana dalam Al-Quran surah As-Sajdah ayat 17.
Artinya :
Tak seorang pun mengetahui kebahagiaan yang disembunyikan bagi mereka, sebagai imbalan terhadap kebajikan yang mereka lakukan.
Surga yang masih merupakan alam ciptaan Tuhan, sesungguhnya adalah target jangka pendek bagi manusia. Dikarenakan manunggal dengan Tuhan memang tidak mudah, paling tidak manusia diharapkan minimal mendapat surga dengan perbuatan yang baik selama hidupnya sekarang. Itulah sebabnya iming-iming surga banyak disebut dalam Quran dan Hadist.
Dengan melalui tangga-tangga surga, maka kita akan lebih cepat sampai kepada-Nya ketimbang mereka yang kualitasnya masih level Neraka.
Dimanakah sebenarnya letak surga dan neraka itu?
Banyak yang tidak menyadari bahwa bumi tempat kita tinggal inilah salah satu Surga sekaligus Neraka ciptaan-Nya.Tentu bumi ini bukanlah satu-satunya ciptaan Allah, melainkan banyak bumi (planet) lain yang juga diciptakan Allah. Jadi surga dan neraka itu adanya dibumi yang diciptakan Allah dengan kualitas yang berbeda-beda (bertingkat).
Dalam Al Quran telah dijelaskan bahwa surga ternyata memiliki berbagai tingkatan :
Surah Al-Zumar(39) : 20.
Artinya :
Tempat yang tinggi, diatasnya dibangun pula tempat-tempat yang tinggi yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya.
Surga atau planet sebagaimana yang dijelaskan pada ayat tersebut ternyata memiliki jarak yang lebih jauh dan juga kualitas alam yang lebih baik daripada bumi yang kita tempati sekarang ini. Semakin tinggi kualitas surga tentu akan semakin nyaman manusia tinggal didalamnya.
- Kualitas air yang jauh lebih sehat dan nikmat untuk diminum,
- Kualitas buah-buahan yang ranum dan lebih cepat berbuah kembali seakan-akan tidak pernah habis,
- Kualitas fisik manusia yang lebih rupawan dan lain sebagainya.
Dengan banyaknya tingkatan surga inilah maka dalam Al-Quran disebutkan bahwa surga itu seluas langit dan bumi.
Tentu surga sebagaimana ayat diatas bisa kita dapatkan asal kita banyak menebar kebajikan.
Semakin banyak kita berbuat kebajikan maka semakin tinggi pula kualitas surga yang bisa didapatkan. Namun sebaliknya, semakin buruk perbuatan kita maka yang didapat pun akan buruk pula yakni bumi yang dipenuhi oleh kesengsaraan hidup.
Bumi-lah tempat manusia menerima buah dari segala yang dikerjakannya, sebagaimana firman Allah,
Dalam Surah Al-Jaatsiyah(45) : 22
Artinya :
Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.
Jadi, bagi kita yang merasakan kedamaian hidup di bumi yang sekarang kita pijak ini berarti kita mendapat surga. Bisa jadi dengan mendapat materi yang cukup, keluarga yang sakinah, kematangan spiritual dan berbagai kebahagian hidup lainnya, sebaliknya bagi kita yang merasa di dunia mengalami kesengsaran hidup yang seakan tiada putusnya maka berarti kita mendapat neraka. Jadi, surga itu sebenarnya bermakna kebahagiaan batiniah dan neraka bermakna kepedihan batiniah. Jadi yang ingin dituju dari pengertian surga dan neraka sebenarnya bukanlah fisik buminya melainkan batin manusia yang menempatinya.
Oleh karena batin itu bukan benda maka dalam Al-Quran, surga atau neraka dijelaskan secara metafor (perumpamaan) dan perumpamaan surga dalam Quran pun disesuaikan dengan iklim alam bangsa Arab pada saat itu yang panas dan gersang.
Dengan menggambarkan surga seperti taman yang indah maka diharapkan mereka terpikat dengan surga sebab surga seperti itu memang kontras sekali dengan iklim mereka yang panas dan gersang.
Tidaklah heran jika ada orang Arab yang pergi ke puncak Ciawi, Jawa Barat akan terpana seakan-akan melihat surga yang disebut-sebut oleh Al-Quran.
Permisalan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa inilah suatu lingkungan yang didalamnya mengalir sungai-sungai. Segalanya serba berkekekalan. Begitu pula naungannya. Itulah tujuan bagi orang-orang yang bertaqwa. Adapun akhir bagi mereka yang kafir adalah api.(Q.S Ar Ra’d (13) : 35)
Jika orang bertakwa mendapat surga maka sebaliknya mereka yang kafir balasannya adalah api. Tapi bukan api yang sesungguhnya. Ini adalah permisalan. Kalau neraka itu benar-benar api yang membakar maka tentunya manusia tidak akan sempat bertengkar di dalam neraka sebagaimana yang diceritakan pada ayat berikut :
Dan mereka sedang bertengkar di dalam neraka. Demi Allah : “Sungguh kita dahulu dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu denganTuhan semesta alam”. (Q.S As Syu’araa (26) : 96-98)
-
Sesungguhnya itu pasti terjadi, yaitu pertengkaran penghuni neraka.(Q.S Shaad (38) : 64)
Jelaslah bahwa neraka adalah ancaman nyata sekarang ini. Jika manusia melakukan perbuatan kafir (melakukan perbuatan keji dan mungkar) di muka bumi ini sudah tentu neraka pun akan tercipta dengan sendirinya. Makannya itu dalam Al-Quran kita banyak sekali mendapati ayat yang memerintahkan manusia agar tidak berbuat kerusakan dibumi. Ini mengandung arti bahwa kehidupan kita dibumi yang sekarang masih akan berhubungan dengan kehidupan yang akan datang.
Bumi adalah salah satu surga sekaligus neraka-Nya. Lah kalau kita sekarang berbuat kerusakan dibumi lalu bagaimana surga bisa terwujud kelak? Bumi rusak ya berarti surga juga rusak. Tidak ada lagi kebahagaian (surga). Yang muncul malah kesengsaraan (neraka).
Dari uraian-uraian diatas kita bisa memahami bahwa keadaan surga dan neraka hanyalah PERMISALAN. Surga dan neraka intinya adalah tentang KEBAHAGIAN dan PENDERITAAN batin. Surga dan neraka bukan alam yang terpisah. Surga dan neraka adalah suatu perumpamaan (simbol) yang menjelaskan keadaan jiwa atau batin yang dialami manusia.
Al-Quran banyak menggunakan simbol agar ia bisa dipahami untuk segala tingkat intelektualitas. Kebanyakan dari kita hanya mampu menafsirkan Quran secara harfiah (teks belaka), hanya sedikit yang mempunyai kemampuan menafsirkanAl Quran secara mendalam.
Firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Ankaabut(29) : 43.
Artinya :
Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang BER-ILMU.
Untuk lebih memahami bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang terpisah, coba kita simak ayat yang berikut ini:
Surah Al-Imran(3) : 133.
Dan ber-segara-lah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya selangit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.
Surah Al-Hadid (57) : 21.
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapat) ampunan Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi….
Sahabat nabi pernah menanyakan makna ayat diatas : “Dimana neraka ya Rasulullah bila surga itu luasnya sama dengan luas seluruh langit dan bumi?”
Lalu Rasulullah menjawab dengan bijak :
“Dimanakah malam bila siang telah datang?”.
Kata Rasul tersebut jelas sekali menerangkan bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang tepisah.
Pada surah Al Mu’min dibawah akan semakin jelas bahwa mereka yang masuk surga pun ternyata tidak terlepas dari balasan kejahatan. Bahkan Nabi Adam pun menurut cerita yang sering kita dengar justru tergoda oleh iblis di dalam surga. Itulah kenapa ada doa agar orang-orang mukmin yang di surga dijauhkan dari balasan kejahatan.
Ya Tuhan kami dan masukanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka dan istri-istri mereka dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. (Q.S Al Mu’min (40) : 8-9)
Dengan memahami bahwa surga dan neraka bukanlah alam yang terpisah maka sesungguhnya kita harus menciptakan surga itu dari sekarang. Tidak perlu menunggu sampai mati. Caranya dengan :
- Senantiasa memelihara bumi, dengan tidak melakukan kerusakaan atau kejahatan,
- Senantiasa berbuat kebajikan untuk bekal di kehidupan yang akan datang.
Jika kita mampu membangun surga di dunia ini maka di kehidupan akherat (kehidupan yang akan datang) otomatis kita akan memperoleh surga yang kualitasnya lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai kita menuju tangga “surga” yang terakhir yaitu kembali kepada-Nya. Inilah kebahagiaan yang kekal!
TENTANG WANITA **
AN-NISA (WANITA)
Salah satu tugas manusia sebagai khalifah di-muka bumi adalah untuk memakmurkan dunia dengan menciptakan manusia-manusia yang mempunyai kwalitas yang unggul, oleh karena itu untuk dapat menciptakan manusia yang ber-kwalitas (ber-iman) maka wajib untuk mereka yang akan memasuki pintu per-kawin-an untuk mempelajari satu tahapan ilmu yang ber-nama Ilmu Nisa’i.
Bagi mereka yang sudah sampai pada martabat ini maka mereka akan mampu menanamkan “bibit” yang unggul agar tumbuh menjadi manusia yang ber-kwalitas, semua ini bagi mereka adalah soal pilihan, tentunya berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama pasangan-nya, karena mereka yang membuat maka mereka-lah yang lebih tahu hasil olahan-nya, boleh apa dan siapa yang mau mereka hadir-kan, ini semua adalah satu pembuktian bagi ilmu mereka.
Semua orang bisa menanam, tapi mereka yang menguasai ilmu cocok tanam saja yang akan mengetahui hasil tanaman-nya walaupun masih ber-bentuk “bibit”.
Asal kata Nisa’i adalah dari kata An-Nisa yang ber-arti Wanita, Wanita adalah makhluk Tuhan paling indah yang mewarnai dunia ini, dirinya penuh fenomena dan rahasia, namun hanya sedikit yang mau dan mampu memahami ini, Allah menciptakan keindahan pada wanita agar mereka menjadi istri yang shalehah bagi laki-laki dan menjadikan laki-laki suami yang shaleh bagi wanita.
Apakah rahasia dibalik sosok wanita?
Dalam riwayat dikatakan wanita diciptakan dari tulang rusuk sebelah kiri laki-laki, dimana dekat hati dan jiwa bersemayam, sehingga wanita diciptakan untuk menentramkan dan mendamaikan jiwa laki-laki, wanita identik dengan kedamaian, kesejukan, keindahan, kelembutan, perhatian dan kasih sayang, kalau-lah laki-laki itu matahari maka wanita itu bulan, kalau-lah laki-laki itu siang maka wanita itu-lah malam, singkat kata ini adalah hal yang ber-pasang-pasangan yang memadukan antara pengasih dan penyayang yaitu ARAHMAN-ARRAHIM.
Sesungguhnya setiap manusia mulai di-hitung pertanggung jawaban-nya kepada Allah pada saat Akil-balig yang mengartikan telah dewasa yang berarti pula sudah siap untuk berumah tangga, bagaimana hal-nya dengan wanita?
Wanita, sebelum akil-balig tiada dosa padanya melainkan tanggung jawab dari orang tuanya, setelah akil-balig terjadi serah terima tanggung jawab melalui ijab-kabul antara orang tua kepada suami-nya yang mengartikan mulai saat itu suami-nya yang ber-tanggung jawab atas segala apa yang diperbuat oleh oleh wanita tersebut (istrinya), jadi dimana letak dosa si wanita ini?
Sesungguhnya agama seseorang itu di-hitung pada saat dia memasuki rumah tangga, tidak ada agama tanpa rumah tangga karena segala macam permasalahan dalam agama adalah bermuara pada rumah tangga, dan dalam rumah tangga-lah kita menjalan-kan amanah-Nya untuk mengenal RahasiaNya dan juga menjalankan tugas sebagai Khalifah untuk memakmurkan dunia dan menjaga kelangsungannya dengan manusia-manusia yang ber-kwalitas.
Saya mengenal ilmu ini sebelum memasuki rumah tangga jadi saat itu sempat guru saya berkata :
“bagaimana kamu mau belajar wahai anak-ku.., kamu hanya punya pena untuk menulis tapi mana buku-mu?”
Firman Allah dalam surah An-Nisa,
Artinya
Istri kamu adalah ladang tempat kamu bercocok tanam, terserah kamu asal ditempat yang rahasia
-
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mendekati pasangan kamu dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaul-lah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Ayat diatas meng-isyarat-kan nikah lahir tidak menjamin bahwa istri sudah sah (halal) bagi kita, maka kita pun harus mengetahui nikah secara batin melalui ilmu Nisa’i.
Adapun Rumah tangga di umpama-kan adalah Haji kecil, segala hal yang kita kerajakan dalam Haji besar dapat kita lihat di dalam rumah tangga, oleh karena-nya “ibadah suami-istri” (……..) adalah ibadah yang paling tertinggi, pahami-lah ibadah ini dengan kita ber-guru kepada Ahlinya (guru mursyid)
Lihat-lah apa yang sudah di-kerjakan oleh saudara-saudara kita untuk mau mendekat-kan dirinya kepada Allah dengan pergi ke Baitullah di tanah suci Makkah Al-Mukarramah, dimana disana mereka harus berebut-an untuk mencium Hajar Aswat sementara Hajar Aswat ada di hadapan mereka, Bagaimana mungkin mereka akan bertemu dengan tuan rumah disana, sementara tuan rumah dirumah mereka sendiri pun belum mereka temui? Bukankah itu semua hanya pembuktian lebih lanjut dari pembuktian dalam rumah tangga-nya?
Insya Allah saya cukupkan dulu uraian ini dengan menitipkan wasiat kepada putra-putriku.
Wahai anak-anakku….
Tidak-lah aku panggil kalian hadir ke-dunia ini melainkan aku telah ber-mufakat dengan ibu-mu, pada diri kalian telah aku pisahkan mana yang hak dan mana yang batil menjadi IMAN kalian, sebagai modal dasar untuk mengarungi gelombang kehidupan di dunia yang fana ini, aku yakin, kalian semua akan mampu menaklukan semua tantangan dengan Iman yang sudah tertanam di dada kalian,
Wahai putra-putri-ku tercinta,
Jika ku pandang kalian, terpandang-lah masa depan kalian, semua yang telah dan akan kalian lalui adalah sudah seharusnya terjadi, agar kalian bisa meningkat-kan kwalitas hidup menjadi lebih baik lagi, sesungguhnya ini semua adalah ujian dan aku yakin kalian bisa lulus dalam ujian ini sebagaimana aku telah melakukan-nya dahulu.
Wahai jantung hati-ku, suatu saat nanti, bila tiba masanya aku harus kembali ke tempat asal-ku, ketahuilah.. dari alam yang kekal disana aku slalu tersenyum dan bangga mempunyai putra-putri seperti kalian semua.
Catatan – catatan ini aku persembahkan untuk kalian.
bahwa ketika telah sampai puncak, seseorang menjadi sadar sepenuhnya akan hakikat dan rahasia kehidupan. Beliau mendendangkan dalam Serat Wedhatama: “ Dene awas tegesipun, weruh waranane urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar alam sakalir.” Mereka yang telah waspada , telah dengan jelas mengetahui rahasia kehidupan, tirai kegaiban telah terbuka. Ia menyaksikan Sang Maha Hidup di balik segenap gerak kehidupan, Wujud Yang Mahatunggal meliputi segalanya. Dia yang menggerakkan segalanya dan mewujudkan segenap kehendak, maka terhamparlah segala peristiwa alam semesta.”
Yang ghaib, bagi mereka yang telah menggapai puncak, disadari sebagai sesuatu yang nyata. Semuanya menjadi demikian jelas: apa yang misteri itu telah membuka wujudnya. Namun, ternyata, saat yang sama, mereka yang telah sampai ke puncak disadarkan pada sebuah kesadaran, bahwa: “SEJATINE ORA ONO OPO-OPO, SING ONO KUWI DUDU” Sesungguhnya tidak ada apa2, yang ada itu bukan. Apa yang kita anggap ADA, tidak ada seperti lazimnya adanya yang lain, termasuk adanya kata ada itu. Apa yang kita sangka sebagai Dia, bukanlah Dia itu sendiri. Semua persangkaan kita, bukanlah Realitas itu sendiri. Dan tetaplah Dia sebagai Dzat “ingkang tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa”.
Mereka yang telah sampai dipuncak, akhirnya menyadari bahwa misteri itu, menjadi nyata sekaligus tetap menjadi misteri.
Maka, sebagai ungkapan manusawi dari misteri itu, bersyairlah Mansyur Al-Hallaj:
“Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
Ruh-Mu menyerap dalam ruhku
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)
Kata-kata Al-Hallaj yang terkesan paradoks, menjelaskan fakta bahwa dia bisa menyaksikan Yang Misteri itu dalam segala hal, termasuk dirinya sendiri, sehingga yang ada hanya Dia: bahkan dirinya, hakikinya adalah Dia juga. Dengan pernyataan seperti ini, sesungguhnya Al-Hallaj menegaskan satu hal: di balik yang kosong, sesungguhnya ada Dia, tetapi adanya Dia tak bisa sama dengan adanya wujud lain, yang terpisah dari yang mengatakan keberadaannya. Bagi al-Hallaj, yang mengatakan ada dan Yang Ada itu sebetulnya satu...tak terpisahkan...dan sebetulnya dengan demikian, tak bisa dilihat sebagai sesuatu yang ada secara obyektif.
Walhasil......tetaplah yang misteri itu menjadi Misteri...
Syeikh Siti Jenar...menggapai kesadaran yang sama dengan Al-Hallaj, dan menyatakan dengan tegas:
“IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU INI TUHAN).
Nyatalah AKU yang Sejati, Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah maksud 'jargon' spiritual waktu itu). Tidak ada lagi yang lain, Apa yang disebut Allah itu. Maulana Maghribi berkata, Yang anda tunjuk itu adalah jasad, Syeh Lemah Bang menjawab.
Hamba membuka rahasia Ilmu Sejati, Membahas tentang Kesatuan Wujud, Tidak membahas Jasad (yang fana), Jasad sudah terlampaui, Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya Ilmu, Membuka Segala Rahasia.
Dan lagi sesungguhnya semua Ilmu, Tidak ada yang berbeda, Sungguh tiada beda, Sedikitpun tidak, Menurut pendapat hamba, Meyakini bahwasanya Ilmu itu, Semuanya sama.”
Dia ada yang karena ada yang mengatakan keberadaannya. Bagi yang mengatakan itu, di luar sana sebetulnya yang dilihat adalah Kekosongan Abadi.....Pernyataan ada itu sesungguhnya merujuk pada keberadan diri, pada keberadaan kesadaran...rahsa sejati....yang secara kekal akan tetap menjadi misteri.
Jiwa Yang Tak Lagi Tersekat
Jalaluddin Rumi, salah satu pejalan ruhani yang telah menggapai puncak, berdendang indah, “Manusia Ilahi, berada di luar kekafiran dan agama...Aku telah melihat ke dalam sanubariku sendiri; di sanalah aku melihat-Nya; Dia tidak ada di tempat yang lainnya..Aku bukan orang Kristen, atau Yahudi, atau Penyembah Api, atau Muslim; aku bukan berasal dari Timur maupun Barat, bukan dari bumi maupun laut...Aku telah mengesampingkan kemenduaan, aku telah mengetahui bahwa kedua dunia itu satu adanya. Satu saja yang kucari, Satu saja yang kukenal, Satu saja yang kulihat, Satu saja yang kuseru.”
Rumi menyaksikan bahwa semuanya berasal dari yang Satu, bayangan dari yang Satu itu, yang hakikatnya adalah kekosongan, sehingga segenap nama dan atribut itu tak lagi memadai. Setiap nama dan atribut, sesungguhnya bukanlah yang Satu itu..melainkan sekedar gumpalan imajinasi di dalam benak, yang tak mewakili Realitas sesungguhnya... yang Satu itu. Dan makna dari yang Satu ini sesungguhnya adalah Yang Maha Meliputi...yang tak menyisakan setitikpun ruang kosong....yang tak memungkinkan adanya yang lain.
Karena kesadaran itu pula, maka Rumi sekaligus terhubung dengan semua lokus di mana bayangan yang Satu itu terlihat: ia terhubung dengan semua jiwa. Rumi berkesadaran, bahwa dirinya, sebagaimana diri kita, sama dengan semua manusia, yang sering menyebut dan mengatributi dirinya dengan nama Muslim, Nasrani, Majusi, dan lainnya. Rumi dan juga kita sama dengan mereka pada tataran hakikat, tapi Rumi menolak disekat oleh nama dan atribut yang membuat ia bisa menyatu dengan sebagian dan berpisah dengan lainnya.
Kesadaran tanpa sekat ini, juga yang membalut jiwa Husain Mansyur al Hallaj. Ia dengan jernih mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”.
Lebih jauh, Al-Hallaj juga mendendang sebagai berikut:
“Sungguh, aku telah merenung panjang agama-agama
Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang
Jangan kau paksa orang memeluk satu saja
Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam
Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri
Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna
Lalu dia akan mengerti"
(Diwan, 50)
Dan jangan dilupakan, seorang Mistikus lain, yang disebut Syaikh Al-Akbar: Muhyiddin Ibnu Arabi. Ialah sang mistikus yang terkenal dengan syairnya:
"Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat, dan mushaf bagi al-Qur'an.
Agamaku adalah agama cinta,
yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku."
Bagi mereka yang telah sampai di puncak....semuanya itu Manunggal...kita adalah sesama pancaran dari Yang Mahatunggal itu. Apa yang kita sebut sebagai kebenaran, adalah pancaran dari Kebenaran yang Tunggal. Agama-agama, adalah bentuk2 yang berbeda dan esensi yang sama.
Selaras dengan itu, leluhur Nusantara, menyadari dengan jelas bahwa agama itu tak lebih dari sekadar jalan menuju Yang Mutlak, atau bahkan “pakaian” yang menjadi penting bukan pada aspek dan warnanya, tetapi pada aspek fungsinya. Salah satu leluhur itu adalah Empu Tantular, pengarang Kakawin Sutasoma, yang melahirkan falsafah Bhinneka Tunggal Ika:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kêna parwanosên, Mangka ng Jinattwa kalawan Śiwatattwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Buddha & Syiwa merupakan dua hal yang berbeda. Memang berbeda &nkeduanya tak bisa dikenali, Akan tetapi kebenaran Jina (Buddha) dan Syiwa ... adalah tunggal, Sesungguhnya berbeda tetap satu juga tidak ada kebenaran yg mendua.
Cara Menggapai Kesadaran Puncak
Sampai pada kesadaran sebagaimana terpapar di atas, susah-susag gampang. Menjadi susah, jika kita terbiasa dengan cara beragama yang doktriner, mengabaikan kecemerlangan akal budi dan keakuratan rahsa sejati. Maka, banyak orang yang dianggap ahli agama, tidak pernah bisa menyadari bahwa apa yang dinyatakan Rumi, Al-Hallaj, Ibnu Arabi dan para leluhur Jawa, sesungguhnya adalah kebenaran.
Bahkan, sungguh menggelikan, ada cendekiawan, yang mengaku sudah membaca Futuhat Al Makiyyah dan berbagai karya Ibnu Arabi lainnya, tidak percaya bahwa Ibnu Arabi punya jiwa yang lapang dan meyakini bahwa jalan menuju Tuhan itu tak terbatas bentuknya.
Betapa tidak menggelikan, ketika ada seorang yang mengaku ahli agama dan memahami pandangan Ibnu Arabi, mengartikan agama cinta itu sebagai agama Islam (ajaran Muhammad)....yang punya makna agama-agama yang lain bukan agama cinta.
Padahal, seorang petani lugu, atau bahkan remaja yang polos, dengan nuraninya yang terjaga, akan dengan mudah menyadari kebenaran yang disampaikan Ibnu Arabi. Tak usah dia membaca Futuhat Al-Makiyyah, cukup dengan menengok pada rahsa sejati...akan bisa didapatkan kesadaran bahwa kita sebetulnya adalah bentuk-bentuk yang berbeda tetapi diikat oleh sesuatu yang sama: Sang Hidup yang mengalir melalui nafas kita. Dan Sang Hidup itu membuat kita ada, hidup, dengan Cinta...maka agama cinta yang sesungguhnya adalah menghayati dan menebar cinta kepada semua makhluk yang dihidupi oleh Sang Hidup itu sendiri.
Terakhir, yang menarik untuk disimak, adalah bahwa ternyata, para mistikus Islam yang disebutkan di atas: Rumi, Al-Hallaj, dan Ibnu Arabi, punya akar yang sama, yaitu Tradisi Persia. Sintesis antara Persia dan Islam, membuat Islam ala mereka sungguh mempesona. Kita bisa melihat, Islam yang demikian, selaras, harmoni dengan ajaran leluhur di Tanah Jawa. Maka, apapun agama Anda, mengapa Anda tak hidupkan tradisi leluhur Anda sendiri? Karena itu yang akan membuat pribadi dan pandangan Anda mempesona...laksana gemintang di langit yang cahayanya menembus segenap sekat gelap....